Hujan telah tiba
di desa kecilku, suara tok tok persis aku
dengar dari pintu rumahku. saat aku buka.! ada
seorang wanita yang anggun sekali berteduh dirumahku yang terbuat dari bambu
itu, wanita tersebut bernama bunga serunai.
Baju
yang terbuat dari kain sutra kini basa kuyup,kerena diguyur oleh hujan malam.
Dedaunan yang tadinya hijau Kini berubah menjadi warna coklat, jalanan tadinya
kering kini mulai membasa. tapi jangan sampai air hujan itu membasahi raga yang
menyatu dengan jiwa si wanita itu.
Tak lama kemudian, aku bersuara lembut ke arah
wanita menawan itu. Ada yang bisa saya bantu, tutur mulutku ke arah telinga
wanita itu. Mas bisa saya minta bantuan sedikit saja untuk berteduh di rumah
yang unik ini. saya langsung mengangguk asal mengangguk. silahkan, dengan
senang hati saya persilahkan masuk untuk kamu. Setelah saya mempersilahkan
wanita itu masuk. saya langsung mempersilahkan untuk duduk di kursi tamu,
layaknya orang-orang yang lagi silaturrohmi.
Hujan
masih terdengar di telinga kami, petir pun ikut menyambar kemana-mana di surau
kami... tak lama kemudian ku tawari wanita itu untuk minum. Saudaraku mau minum
apa? Minum TEH manis saja mas, sambil saya buatkan minuman untuk wanita
tersebut, beberapa menit silam kemudian, wanita itu membacakan syair-syair yang
indah sampai menusuk ke dua telinga ku. suara
lentik jemari memecah kesunyian malam.
Hujan membuatku risau. Seakan-akan mengajak
kemasa kelam. Petir pun menyambar-nyambar dari surau ini. Dan malam pun akan
menjadi legam. Ku lantunkan melodi-melodi kecil untuk sahabat Ku.
Syair
yang begitu sempurna membekukan detak jantungku. Akal sehat ku tak bisa
berfikir lagi, arwa ku tersapu oleh karnanya. Jiwaku membisu dan terdiam tak
berdaya. Masa allah. Ya tuhan ku! apakah ini yang dinamakan takdir hasyatku
yang kau miliki.! Lamunanku terus terdiam sambil menatap langit-langit hitam.
Hujan terus menderai di surau kami. Syair-syair pun masih terucap di bibir
wanita itu. Saat ketika itu, hujan tiba-tiba terang sebentar, meski ada sedikit
tetesan air hujan yang membasai dedaunan yang layu itu. Petir sudah tak tampak
lagi.
Di saat
syair pun berhenti, wanita tersebut memanggil-manggil dengan irama yang merdu
sekali disaat saya masih mematung dan mata saya menatap langit-langit . sembari
memegang tanganku yang kaku itu. Mas ada apa ko’ diam, saya pun langsung
tersadar sendirinya atas pegangan dan suara yang membuat ku terbangun dari
mimpi. Maaf .... maaf!! Saya habis mati suri dengar syair yang membuat ku pilu.
Wanita itu tersenyum dengan sendirinya melihat ucapan ku tadi. Saya langsung
mengabaikan semua nya, ayo kita kembali ke ruang tamu sambil menyerutup TEH
manis buatan saya ini, saya sodorkan TEH tersebut untuk dia, seketika itu
langsung dia meminumnya mungkin dia merasa kedinginan ataukah ingin menikmati
TEH buatan saya yang katanya temen-temen saya manis, tapi saya tidak langsung
bertanya sama dia bagaiamana rasa TEH buatan saya ini. Karena saya yakin bener
bahwa TEH buatan saya ini serasa dinikmati oleh wanita itu.
Setelah
dia berhenti menyeruput TEH buatan saya, saya menawari lagi untuk ganti baju,
kerena saya lihat baju wanita tersebut basa kuyub semua. Saya takut sekali!
jika wanita cantik itu dilanda sakit. Lagi-lagi wanita lembut itu menebar
senyum di hadapanku. Ucap wainta itu, Sudah tak usah repot-repot sebentar lagi
saya juga mau pulang sudah larut malam ini, waktu sudah menandakan jam 21:05.
Tapi hujan masih rintik-rintik, saya pun mencegahnya tuk pulang kerena hujan
belum terang benerang. Okey saya tunggu sampai terang benerang, ujar wanita itu
sambil memandang saya.
Dingin
air hujan yang menusuk merenteti pertanyaan yang menelanjangiku. Sambil duduk di
ruang tamu dengan kursi yang terbuat dengan kayu jati tersebut. dan ber sua
dengan wanita itu. Tak lama kemudian suara bising dari tetangga sebela sudah tak
terdengar lagi, yang tadinya suara - suara gadu terdengar dari telingah saya,
namun suara itu sudah menghilang begitu saja. Hanya suara radio saja yang aku
dengar dari tetangga sebela, dengan lagu yang mungkin pas untuk aku dengar sambil ditemani dengan nyamuk-nyamuk kecil beserta
wanita tersebut.
Angin malam
sudah mulai terasa yang berhamburan dari sudut-sudut dalam rumahku. Tak satupun
aku melihat seseorang keluar dari rumah tuk melihat alam yang begitu indah.
Wanita itu dengan bengong sendirinya melihat saya yang berdiri mematung di
depan emperan rumahku itu. Tiba-tiba Jam dinding berbunyi, menandakan jam 11
tepat. Saya langsung kembali ke tempat semula. Yaitu ruang tamu bersama wanita
tersebut. Sambil berbicara kepadanya. Wahai sahabatku, jam dinding sudah
menandakan waktu 11 malam. Apakah kamu masih tetap disini ataukah kamu mau
pulang. Biar saya yang mengantarnya. Dia bertanya kembali. Wahai sahabatku yang
baik hatinya. Apakah hujan masih deras ataukah sudah terang. Saya pun menjawab
dengan sangat pelan. Hujan sudah berhenti. Tapi dilorong sana sangat sepi
sekali. Saya sangat takut dengan apa yang terjadi dengan kamu. Tak ada satu pun
orang yang berjalan menuju kesana. Apakah saya boleh mengantarkan kamu sampai
ke rumah mu. Dengan berat hati saya membolehkan. Tapi sebelumnya saya sangat
terimakasih atas semuanya yang kau berikan. Bagaimanapun saya berhutang budi
sama kamu. Ujar wanita itu. Aduhhhh... tak usah begitu wahai sahabatku, tohh...
itu sudah kewajiban saya untuk membantu sesama manusia. Bukankah begitu. Wanita
itu sambil mengangguk asal mengangguk. Ayo mari kita jalan, jalanan yang begitu
becek, genangan air yang membuat aku tak bisa melangkahkan kakiku tuk menuju
rumah si wanita itu. Lampu senterku aku nyalakan untuk menerangi jalanan. Suara
kodok yang menyambut riang dengan berjalannya saya dan wanita itu.
Sambil
berjalan menuju rumah si wanita itu, tiba-tiba ada kakek-kakek berjalan
bersimpangan dengan ku. Saya berhentikan kakek tersebut.
“mau kemana
kek, malam-malam begini ko’ belum tidur.” Kata saya.
“Oohhh saya mau ke cucuku nak, nak mas sendiri
mau kemana” dengan nada yang sedikit kurang jelas.
“saya mau
mengantarkan wanita ini pulang kek.”
“bolehkah saya
bertanya kek?”
“sangat boleh
anak muda” saut kakek tua itu.
“kakek ke rumah
cucu kakek mau apa?”
“ooohhh.....
itu, seperti kakek itu mengetahui maksud saya, saya ke rumah cucu kakek, kerena
mau numpang tidur saja disana untuk 1 malam saja. Kerena dirumah kakek sangat
sunyi sekali.”
“ooohhh...
begitu ya kek. Ya udah kek saya tak nglanjutin perjalanan kami.”
“hati-hati ya
kek”
Setelah
saya berpamitan dengan kakek yang usianya sangat tua itu, saya pun melanjutkan
tujuan saya untuk mengantarkan wanita itu. Mari mbak, kita akan sampai di rumah
kamu mungkin sebentar lagi. Sambil berjalan ku lihat ada warung disebah sana,
maukah mbak bunga berhenti diwarung itu dengan penerangan lampu petromak. Saya
lihat mbak kelihatannya capek sekali . “boleh-boleh mas” pungkas wanita itu.
Saya pun berhenti di warung itu. Duduk bersanding dengan mbak bunga. Saya pesen
kopi yu. Dan “Kamu pesen apa?”tanya saya. Saya pesen TEH saja. Dan satu TEH
lagi yu. Sambil mendorong jajanan gedang goreng ke hadapan wanita itu. Ini
gedang goreng, makanan kebanggaan warung ini. Jangan sungkan-sungkan anggap
saja ini desa kamu sendiri. Ucap saya. Lagi-lagi dia melihatkan senyumannya di
depanku. “Ini mas pesenannya” kata pemilik warung itu. Makasih mbak yu.
Silahkan diminum mbak bunga. Iya mas. Terima kasih ya.
Beberapa
kemudian saya melanjutkan lagi perjalanan saya menuju ke rumah wanita itu,
sambil menyalakan senter. Berapa menit lagi mbak sampai dirumah kamu. Sebentar
lagi ko’ mas. Sambil berjalanan akhirnya sampai juga rumah nya. Rumah yang
cukup sederhana itu membuat aku senang. Tok..... tok suara tanganku mengetok
pintu. Ternyata ibu dari wanita itu yang membukakkan pintunya.
“Ada apa mas”. Tanya ibu itu.
“saya mengantarkan putri ibu yang bertedu di rumah saya
tadi, disaat hujan tiba.”
“Mana putri saya.” Saut ibu itu dengan suara
tergesa-gesa.
“ini putri ibu saya antarkan kemari.”
Akhirnya
ibu tersebut mempersilahkan saya untuk masuk, silahkan mas. Masuk dulu, pasti
kamu kecapean berjalan dari rumahmu sampai kesini. Sebelumnya terimakasih ya
mas sudah menjaga putriku dengan selamat.ya ibu sama-sama. Mungkin saya tak
bisa berlama-lama lagi disini bu, *emang kenapa* saut ibu itu. Waktu sudah
malam bu. Mungkin kapan-kapan saja saya bisa main kesini lagi. Saya pamit dulu
ya bu’
Setelah
saya berpamitan, wanita itu saya serahkan sama ibunya. Dengan wajah yang
sedikit sedih dan bahagia bercampur jadi satu di wajah perempuan itu. Wahai
sahabat ku yang baik hatinya, bolehkah saya main lagi kerumah kamu yang terbuat
dari bambu itu. Saya pun menjawab dengan senyuman. Sangat boleh mbak, kapan pun
itu harinya saya sangat membolehkan. Asalkan dizinkan sama orang tua kamu,
“kata saya.” Akhirnya saya pulang berjalan sendirian dengan diterangi lampu
senter. Pintu rumah si perempuan itu sudah ditutup. Tapi rasa persahabatan
sudah tertancap didalam kalbuku. Kan ku abadikan pertama aku mengenalmu sampai
akhir hayat nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar