Selasa, 22 April 2014

Malam Telah Mempertemukan Rindu



            Hujan telah tiba di desa kecilku, suara tok tok persis aku dengar dari pintu rumahku. saat aku buka.! ada seorang wanita yang anggun sekali berteduh dirumahku yang terbuat dari bambu itu, wanita tersebut bernama bunga serunai.
            Baju yang terbuat dari kain sutra kini basa kuyup,kerena diguyur oleh hujan malam. Dedaunan yang tadinya hijau Kini berubah menjadi warna coklat, jalanan tadinya kering kini mulai membasa. tapi jangan sampai air hujan itu membasahi raga yang menyatu dengan jiwa si wanita itu.
            Tak  lama kemudian, aku bersuara lembut ke arah wanita menawan itu. Ada yang bisa saya bantu, tutur mulutku ke arah telinga wanita itu. Mas bisa saya minta bantuan sedikit saja untuk berteduh di rumah yang unik ini. saya langsung mengangguk asal mengangguk. silahkan, dengan senang hati saya persilahkan masuk untuk kamu. Setelah saya mempersilahkan wanita itu masuk. saya langsung mempersilahkan untuk duduk di kursi tamu, layaknya orang-orang yang lagi silaturrohmi.
            Hujan masih terdengar di telinga kami, petir pun ikut menyambar kemana-mana di surau kami... tak lama kemudian ku tawari wanita itu untuk minum. Saudaraku mau minum apa? Minum TEH manis saja mas, sambil saya buatkan minuman untuk wanita tersebut, beberapa menit silam kemudian, wanita itu membacakan syair-syair yang indah sampai menusuk ke dua telinga ku.  suara lentik jemari memecah kesunyian malam.
Hujan membuatku risau. Seakan-akan mengajak kemasa kelam. Petir pun menyambar-nyambar dari surau ini. Dan malam pun akan menjadi legam. Ku lantunkan melodi-melodi kecil untuk sahabat Ku.
            Syair yang begitu sempurna membekukan detak jantungku. Akal sehat ku tak bisa berfikir lagi, arwa ku tersapu oleh karnanya. Jiwaku membisu dan terdiam tak berdaya. Masa allah. Ya tuhan ku! apakah ini yang dinamakan takdir hasyatku yang kau miliki.! Lamunanku terus terdiam sambil menatap langit-langit hitam. Hujan terus menderai di surau kami. Syair-syair pun masih terucap di bibir wanita itu. Saat ketika itu, hujan tiba-tiba terang sebentar, meski ada sedikit tetesan air hujan yang membasai dedaunan yang layu itu. Petir sudah tak tampak lagi.
            Di saat syair pun berhenti, wanita tersebut memanggil-manggil dengan irama yang merdu sekali disaat saya masih mematung dan mata saya menatap langit-langit . sembari memegang tanganku yang kaku itu. Mas ada apa ko’ diam, saya pun langsung tersadar sendirinya atas pegangan dan suara yang membuat ku terbangun dari mimpi. Maaf .... maaf!! Saya habis mati suri dengar syair yang membuat ku pilu. Wanita itu tersenyum dengan sendirinya melihat ucapan ku tadi. Saya langsung mengabaikan semua nya, ayo kita kembali ke ruang tamu sambil menyerutup TEH manis buatan saya ini, saya sodorkan TEH tersebut untuk dia, seketika itu langsung dia meminumnya mungkin dia merasa kedinginan ataukah ingin menikmati TEH buatan saya yang katanya temen-temen saya manis, tapi saya tidak langsung bertanya sama dia bagaiamana rasa TEH buatan saya ini. Karena saya yakin bener bahwa TEH buatan saya ini serasa dinikmati oleh wanita itu.
            Setelah dia berhenti menyeruput TEH buatan saya, saya menawari lagi untuk ganti baju, kerena saya lihat baju wanita tersebut basa kuyub semua. Saya takut sekali! jika wanita cantik itu dilanda sakit. Lagi-lagi wanita lembut itu menebar senyum di hadapanku. Ucap wainta itu, Sudah tak usah repot-repot sebentar lagi saya juga mau pulang sudah larut malam ini, waktu sudah menandakan jam 21:05. Tapi hujan masih rintik-rintik, saya pun mencegahnya tuk pulang kerena hujan belum terang benerang. Okey saya tunggu sampai terang benerang, ujar wanita itu sambil memandang saya.
          Dingin air hujan yang menusuk merenteti pertanyaan yang menelanjangiku. Sambil duduk di ruang tamu dengan kursi yang terbuat dengan kayu jati tersebut. dan ber sua dengan wanita itu. Tak lama kemudian  suara bising dari tetangga sebela sudah tak terdengar lagi, yang tadinya suara - suara gadu terdengar dari telingah saya, namun suara itu sudah menghilang begitu saja. Hanya suara radio saja yang aku dengar dari tetangga sebela, dengan lagu yang mungkin pas untuk aku dengar  sambil ditemani dengan nyamuk-nyamuk kecil beserta wanita tersebut.
            Angin malam sudah mulai terasa yang berhamburan dari sudut-sudut dalam rumahku. Tak satupun aku melihat seseorang keluar dari rumah tuk melihat alam yang begitu indah. Wanita itu dengan bengong sendirinya melihat saya yang berdiri mematung di depan emperan rumahku itu. Tiba-tiba Jam dinding berbunyi, menandakan jam 11 tepat. Saya langsung kembali ke tempat semula. Yaitu ruang tamu bersama wanita tersebut. Sambil berbicara kepadanya. Wahai sahabatku, jam dinding sudah menandakan waktu 11 malam. Apakah kamu masih tetap disini ataukah kamu mau pulang. Biar saya yang mengantarnya. Dia bertanya kembali. Wahai sahabatku yang baik hatinya. Apakah hujan masih deras ataukah sudah terang. Saya pun menjawab dengan sangat pelan. Hujan sudah berhenti. Tapi dilorong sana sangat sepi sekali. Saya sangat takut dengan apa yang terjadi dengan kamu. Tak ada satu pun orang yang berjalan menuju kesana. Apakah saya boleh mengantarkan kamu sampai ke rumah mu. Dengan berat hati saya membolehkan. Tapi sebelumnya saya sangat terimakasih atas semuanya yang kau berikan. Bagaimanapun saya berhutang budi sama kamu. Ujar wanita itu. Aduhhhh... tak usah begitu wahai sahabatku, tohh... itu sudah kewajiban saya untuk membantu sesama manusia. Bukankah begitu. Wanita itu sambil mengangguk asal mengangguk. Ayo mari kita jalan, jalanan yang begitu becek, genangan air yang membuat aku tak bisa melangkahkan kakiku tuk menuju rumah si wanita itu. Lampu senterku aku nyalakan untuk menerangi jalanan. Suara kodok yang menyambut riang dengan berjalannya saya dan wanita itu.
            Sambil berjalan menuju rumah si wanita itu, tiba-tiba ada kakek-kakek berjalan bersimpangan dengan ku. Saya berhentikan kakek tersebut.
“mau kemana kek, malam-malam begini ko’ belum tidur.” Kata saya.
 “Oohhh saya mau ke cucuku nak, nak mas sendiri mau kemana” dengan nada yang sedikit kurang jelas.
“saya mau mengantarkan wanita ini pulang kek.”
“bolehkah saya bertanya kek?”
“sangat boleh anak muda” saut kakek tua itu.
“kakek ke rumah cucu kakek mau apa?”
“ooohhh..... itu, seperti kakek itu mengetahui maksud saya, saya ke rumah cucu kakek, kerena mau numpang tidur saja disana untuk 1 malam saja. Kerena dirumah kakek sangat sunyi sekali.”
“ooohhh... begitu ya kek. Ya udah kek saya tak nglanjutin perjalanan kami.”
“hati-hati ya kek”
            Setelah saya berpamitan dengan kakek yang usianya sangat tua itu, saya pun melanjutkan tujuan saya untuk mengantarkan wanita itu. Mari mbak, kita akan sampai di rumah kamu mungkin sebentar lagi. Sambil berjalan ku lihat ada warung disebah sana, maukah mbak bunga berhenti diwarung itu dengan penerangan lampu petromak. Saya lihat mbak kelihatannya capek sekali . “boleh-boleh mas” pungkas wanita itu. Saya pun berhenti di warung itu. Duduk bersanding dengan mbak bunga. Saya pesen kopi yu. Dan “Kamu pesen apa?”tanya saya. Saya pesen TEH saja. Dan satu TEH lagi yu. Sambil mendorong jajanan gedang goreng ke hadapan wanita itu. Ini gedang goreng, makanan kebanggaan warung ini. Jangan sungkan-sungkan anggap saja ini desa kamu sendiri. Ucap saya. Lagi-lagi dia melihatkan senyumannya di depanku. “Ini mas pesenannya” kata pemilik warung itu. Makasih mbak yu. Silahkan diminum mbak bunga. Iya mas. Terima kasih ya.
       Beberapa kemudian saya melanjutkan lagi perjalanan saya menuju ke rumah wanita itu, sambil menyalakan senter. Berapa menit lagi mbak sampai dirumah kamu. Sebentar lagi ko’ mas. Sambil berjalanan akhirnya sampai juga rumah nya. Rumah yang cukup sederhana itu membuat aku senang. Tok..... tok suara tanganku mengetok pintu. Ternyata ibu dari wanita itu yang membukakkan pintunya.
“Ada apa mas”. Tanya ibu itu.
“saya mengantarkan putri ibu yang bertedu di rumah saya tadi, disaat hujan tiba.”
“Mana putri saya.” Saut ibu itu dengan suara tergesa-gesa.
“ini putri ibu saya antarkan kemari.”
         Akhirnya ibu tersebut mempersilahkan saya untuk masuk, silahkan mas. Masuk dulu, pasti kamu kecapean berjalan dari rumahmu sampai kesini. Sebelumnya terimakasih ya mas sudah menjaga putriku dengan selamat.ya ibu sama-sama. Mungkin saya tak bisa berlama-lama lagi disini bu, *emang kenapa* saut ibu itu. Waktu sudah malam bu. Mungkin kapan-kapan saja saya bisa main kesini lagi. Saya pamit dulu ya bu’
            Setelah saya berpamitan, wanita itu saya serahkan sama ibunya. Dengan wajah yang sedikit sedih dan bahagia bercampur jadi satu di wajah perempuan itu. Wahai sahabat ku yang baik hatinya, bolehkah saya main lagi kerumah kamu yang terbuat dari bambu itu. Saya pun menjawab dengan senyuman. Sangat boleh mbak, kapan pun itu harinya saya sangat membolehkan. Asalkan dizinkan sama orang tua kamu, “kata saya.” Akhirnya saya pulang berjalan sendirian dengan diterangi lampu senter. Pintu rumah si perempuan itu sudah ditutup. Tapi rasa persahabatan sudah tertancap didalam kalbuku. Kan ku abadikan pertama aku mengenalmu sampai akhir hayat nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar